Pada
awal karirnya tergabung dalam grup band Favourite’s. Selanjutnya dia
dikenal sebagai pencipta dan penulis lagu yang banyak menjadi hits di
tanah air. Kehadirannya sebagai musisi di industri musik pop Indonesia begitu
fenomenal. Lagu-lagunya bertaburan dan dibawakan lewat beragam penyanyi dengan
karakter vokal yang berbeda-beda. Deretan karyanya terentang sejak pertengahan
1960-an sampai awal 1980-an.
Tetty Kadi yang juga merupakan adik sepupu dari sang musisi adalah penyanyi yang kerap menyanyikan karyanya yang selalu sukses besar dan terkenal itu. Diantara lagu-lagu tersebut adalah: “Mawar Berduri” (1966), “Layu Sebelum Berkembang” (1966), “Sepanjang Jalan Kenangan” (1967), “Teringat Selalu” (1967), “Pulau Seribu” (1966), “Senandung Rindu” (1967) dan “Bunga Mawar” (1966). Umumnya lagu-lagu Tetty Kadi, terdapat pula dalam album-album Favourite’s Group.
Selain sebagai hitsmaker, A. Riyanto juga dikenal sebagai penemu bakat bertangan dingin, terbukti dia berhasil mengorbitkan penyanyi yang benar-benar mulai dari nol. Misalnya saja Jamal Mirdad, sejak diorbitkan lewat lagu “Hati Selembut Salju” pada album “Perawan Desa” (1981), Jamal secara berturut-turut menangguk sukses besar lewat tangan dingin A. Riyanto melalui “Hati Seorang Kawan Baru” (1982), “Hati Lebur Jadi Debu” (1982), dan “Hati Kecil Penuh Janji” (1983). A. Riyanto pandai meramu lagu yang disesuaikan dengan karakter vokal sang penyanyi, dan Jamal Mirdad memang memiliki karakter suara yang khas yang belum pernah terdengar pada suara penyanyi pria yang ada saat itu. Salah satu ‘plagiat’ Jamal yang cukup sukses adalah Ade Putra yang juga ‘ditemukan’ oleh A. Riyanto. Ade Putra sukses dalam debutnya lewat album “Tanda Mata” (1982), yang di dalamnya terdapat tembang hits berjudul “Anak Desa”. Begitu juga dengan Rano Karno yang kala itu adalah bintang film remaja ternama, juga terseret ‘demam Jamal’, lewat tembang “Yang Sangat Kusayang” (1982), dia pun berhasil mendapat sambutan dari khalayak dengan menampilkan materi suara nyaris serupa dengan Jamal Mirdad.
Endang S. Taurina juga termasuk penyanyi ‘hasil penemuan’ A. Riyanto. Meskipun sebelumnya telah eksis sebagai penyanyi, namun karir Endang lebih mantap ketika ditangani oleh A. Riyanto, album “Apa yang Kucari” (1983) besutan A. Riyanto mampu menciptakan kesuksesan luar biasa. Lagu ini pula yang membuat nama Endang S. Taurina melambung hingga ke Malaysia. Selanjutnya lagu-lagu Endang seolah menjadi langganan ditangani A. Riyanto, seperti “Dia yang Kucari” (1984) dan “Bunga dan Kumbang” (1985).
Nama lain yang ‘ditemukan’ A. Riyanto adalah Chintami Atmanegara. Chintami yang sebelumnya merupakan model kalender dan telah merilis dua album, dipercaya menyanyikan karyanya yang melankolis berjudul “Duri Dalam Dada” (1984) yang memposisikan Chintami menjadi artis JK Records papan atas.
Demikian halnya dengan Ervinna, Richie Ricardo, dan Jayanthi Mandasari. Mereka cukup sukses dalam karirnya masing-masing lewat karya A. Riyanto. Ervinna, antara lain populer lewat “Jangan Parkir Disitu” (1984) dan “Ada Udang di Balik Batu” (1986), Richie hits lewat “Acuh-acuh Mau” (1984), dan Jayanthi berhasil melalui “Memori Bulan Januari” (1983). Lagu “Desember Kelabu” (1982) ciptaannya yang sangat populer malah mengalahkan popularitas penyanyinya sendiri, yaitu Maharani Kahar.
A. Riyanto dikenal pula sebagai komposer yang sering menghasilkan lagu bertemakan nasionalisme, di antara lagu-lagu tersebut ada yang dibuat secara serial berjudul “Nusantara” (“Nusantara I”, “Nusantara II”, “Nusantara III”, dan seterusnya). Jamal Mirdad dan penyanyi pendatang baru Atiek CB menjadi penyanyi serial “Nusantara” ini bergantian. Nama Atiek CB mulai dikenal publik namun belum terlalu mencuat waktu itu.
Rafika Duri dan Andi Meriem Matalatta, dua penyanyi bersuara lembut namun berkarakter kuat ini sedikit banyak juga terangkat lewat karya cipta A. Riyanto pada awal karir mereka. Rafika Duri populer berkat lagu “Tertusuk Duri” (1976), dan “Hanya Untukmu” (yang memenangkan Gayageum Award di Seoul, Korsel, 1978-red), sedang Andi Meriem terkenal lewat “Jumpa Lagi” (1977) dan “Lembah Biru” (1977). Demikian halnya dengan ‘Singa Panggung Asia’ Emilia Contessa pernah populer lewat “Mimpi Sedih” (1975) dan “Setangkai Anggrek Bulan” (duet dengan Broery Pesolima (1977).
Lagu “Hati yang Terluka” (1994) yang terkenal lewat olah vokal Broery Marantika bisa dikatakan merupakan salah satu karya terakhirnya, namun masih mampu mencapai hits besar di era musik pop modern. “Hati yang Terluka” disebut-sebut sebagai ‘warisan’ A. Riyanto untuk Broery karena konon lagu ini memang dipersiapkan untuk Broery, namun baru sempat dirilis setelah ia berpulang. Inilah kolaborasi terakhir A. Riyanto bersama Broery.
Tetty Kadi yang juga merupakan adik sepupu dari sang musisi adalah penyanyi yang kerap menyanyikan karyanya yang selalu sukses besar dan terkenal itu. Diantara lagu-lagu tersebut adalah: “Mawar Berduri” (1966), “Layu Sebelum Berkembang” (1966), “Sepanjang Jalan Kenangan” (1967), “Teringat Selalu” (1967), “Pulau Seribu” (1966), “Senandung Rindu” (1967) dan “Bunga Mawar” (1966). Umumnya lagu-lagu Tetty Kadi, terdapat pula dalam album-album Favourite’s Group.
Selain sebagai hitsmaker, A. Riyanto juga dikenal sebagai penemu bakat bertangan dingin, terbukti dia berhasil mengorbitkan penyanyi yang benar-benar mulai dari nol. Misalnya saja Jamal Mirdad, sejak diorbitkan lewat lagu “Hati Selembut Salju” pada album “Perawan Desa” (1981), Jamal secara berturut-turut menangguk sukses besar lewat tangan dingin A. Riyanto melalui “Hati Seorang Kawan Baru” (1982), “Hati Lebur Jadi Debu” (1982), dan “Hati Kecil Penuh Janji” (1983). A. Riyanto pandai meramu lagu yang disesuaikan dengan karakter vokal sang penyanyi, dan Jamal Mirdad memang memiliki karakter suara yang khas yang belum pernah terdengar pada suara penyanyi pria yang ada saat itu. Salah satu ‘plagiat’ Jamal yang cukup sukses adalah Ade Putra yang juga ‘ditemukan’ oleh A. Riyanto. Ade Putra sukses dalam debutnya lewat album “Tanda Mata” (1982), yang di dalamnya terdapat tembang hits berjudul “Anak Desa”. Begitu juga dengan Rano Karno yang kala itu adalah bintang film remaja ternama, juga terseret ‘demam Jamal’, lewat tembang “Yang Sangat Kusayang” (1982), dia pun berhasil mendapat sambutan dari khalayak dengan menampilkan materi suara nyaris serupa dengan Jamal Mirdad.
Endang S. Taurina juga termasuk penyanyi ‘hasil penemuan’ A. Riyanto. Meskipun sebelumnya telah eksis sebagai penyanyi, namun karir Endang lebih mantap ketika ditangani oleh A. Riyanto, album “Apa yang Kucari” (1983) besutan A. Riyanto mampu menciptakan kesuksesan luar biasa. Lagu ini pula yang membuat nama Endang S. Taurina melambung hingga ke Malaysia. Selanjutnya lagu-lagu Endang seolah menjadi langganan ditangani A. Riyanto, seperti “Dia yang Kucari” (1984) dan “Bunga dan Kumbang” (1985).
Nama lain yang ‘ditemukan’ A. Riyanto adalah Chintami Atmanegara. Chintami yang sebelumnya merupakan model kalender dan telah merilis dua album, dipercaya menyanyikan karyanya yang melankolis berjudul “Duri Dalam Dada” (1984) yang memposisikan Chintami menjadi artis JK Records papan atas.
Demikian halnya dengan Ervinna, Richie Ricardo, dan Jayanthi Mandasari. Mereka cukup sukses dalam karirnya masing-masing lewat karya A. Riyanto. Ervinna, antara lain populer lewat “Jangan Parkir Disitu” (1984) dan “Ada Udang di Balik Batu” (1986), Richie hits lewat “Acuh-acuh Mau” (1984), dan Jayanthi berhasil melalui “Memori Bulan Januari” (1983). Lagu “Desember Kelabu” (1982) ciptaannya yang sangat populer malah mengalahkan popularitas penyanyinya sendiri, yaitu Maharani Kahar.
A. Riyanto dikenal pula sebagai komposer yang sering menghasilkan lagu bertemakan nasionalisme, di antara lagu-lagu tersebut ada yang dibuat secara serial berjudul “Nusantara” (“Nusantara I”, “Nusantara II”, “Nusantara III”, dan seterusnya). Jamal Mirdad dan penyanyi pendatang baru Atiek CB menjadi penyanyi serial “Nusantara” ini bergantian. Nama Atiek CB mulai dikenal publik namun belum terlalu mencuat waktu itu.
Rafika Duri dan Andi Meriem Matalatta, dua penyanyi bersuara lembut namun berkarakter kuat ini sedikit banyak juga terangkat lewat karya cipta A. Riyanto pada awal karir mereka. Rafika Duri populer berkat lagu “Tertusuk Duri” (1976), dan “Hanya Untukmu” (yang memenangkan Gayageum Award di Seoul, Korsel, 1978-red), sedang Andi Meriem terkenal lewat “Jumpa Lagi” (1977) dan “Lembah Biru” (1977). Demikian halnya dengan ‘Singa Panggung Asia’ Emilia Contessa pernah populer lewat “Mimpi Sedih” (1975) dan “Setangkai Anggrek Bulan” (duet dengan Broery Pesolima (1977).
Lagu “Hati yang Terluka” (1994) yang terkenal lewat olah vokal Broery Marantika bisa dikatakan merupakan salah satu karya terakhirnya, namun masih mampu mencapai hits besar di era musik pop modern. “Hati yang Terluka” disebut-sebut sebagai ‘warisan’ A. Riyanto untuk Broery karena konon lagu ini memang dipersiapkan untuk Broery, namun baru sempat dirilis setelah ia berpulang. Inilah kolaborasi terakhir A. Riyanto bersama Broery.
2. TITIEK PUSPA
Tahun 1984, melalui suara Euis Darliah, lagu ciptaannya “Horas Kasih” berhasil menyabet Bronze Prize dalam The World Song Festival di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Padahal menurut Titiek lagu itu hanya lagu ‘gampangan’ dan hura-hura, tak ada hebatnya. Sejumlah nama penyanyi terangkat namanya setelah menyanyikan lagu Titiek. Sebut saja Kelompok Dara Puspita (“Marilah Kemari”), Lilis Suryani (“Gang Kelinci”-1967), Eddy Silitonga (“Jatuh Cinta”-1974, “Rindu Setengah Mati”-1976, “Romo Ono Maling”), Acil Bimbo (“Adinda”-1973, "Sendiri"-1974), New Rollies ("Bimbi"-1978), dan Euis Darliah (“Apanya Dong”-1982).
Lagu-lagu karya Titiek selalu punya cerita yang melatar belakangi penciptaannya. Dia menulis lagu bernuansa patriotik yang kental “Pantang Mundur” (1964) setelah menyaksikan perpisahan seorang wanita hamil yang ditinggal bertugas oleh sang suami. Ketika mahasiswa angkatan '66, Arief Rahman Hakim gugur, Titiek Puspa pun menulis lagu “Adikku” yang tertuang dalam album “Pita” (1966). Dia pun menulis lagu tentang PSK dengan penuh kasih tanpa hujatan, “Kupu Kupu Malam” setelah mendengar curahan hati seorang ‘wanita malam’ saat ia sedang show di luar kota. Tatkala mendengar kabar tokoh idola sekaligus sahabat dekatnya, Bing Slamet, meninggal dunia pada 17 Desember 1973, Titiek lalu mengambil pena dalam perjalanan di atas pesawat terbang, ia tumpahkan rasa kehilangan itu lewat lagu “Bing” (1973) yang tuntas dalam waktu setengah jam sambil berlinang air mata. Lagu ini kemudian dipopulerkan lewat suara Grace Simon.
Kadang ia juga menghasilkan karya bertema ringan namun tetap menjadi hits di pasaran, seperti “Apanya Dong”, “Dansa Yo Dansa”, dan “Marilah Kemari”. Bersama grup musik asal Jerman, Scorpions, Titiek (juga bersama James F. Sundah-red), sempat berkolaborasi menghasilkan lagu berjudul “When You Came Into My Life” dalam Pasific Harmony di Bali tahun 1995. Titiek Puspa juga sempat menciptakan karya bernuansa dangdut yang sempat hits “Hidupku Untuk Cinta” (1976) dan “Virus Cinta” (1997).
3. RINTO HARAHAP
Untuk urusan lagu-lagu bernuansa melankolis,
dia memang ‘raja’-nya. Kehadirannya berawal dari popularitas The Mercy’s, grup
band papan atas di era 1970-an, dimana ia salah satu personilnya dengan
memegang alat musik bass. Pasca The Mercy’s yang pernah sukses lewat lagu
“Semua Bisa Bilang” (1972), ia lantas membentuk perusahaan rekaman bernama
Lollypop Record sekitar tahun 1980 bersama sang kakak, Erwin Harahap, di saat
itulah namanya sebagai pencipta lagu hitsmaker makin berkibar.
Bersama Lollypop, ia turut andil melambungkan sejumlah penyanyi di jagat musik
Indonesia seperti lewat lagu ciptaannya, contohnya; Eddy Silitonga “Biarlah
Sendiri” (1976) dan Rita Butar Butar “Seandainya Aku Punya Sayap” (1981). Eddy
Silitonga pernah pula menampilkan hits fenomenalnya lewat “Ayah” (1976)
Rinto juga sukses melambungkan nama Maya Rumantir, Nia Daniati, Iis Sugianto, Betharia Sonata, Christine Panjaitan, serta Nur’afni Octavia. Lagu Rinto tak hanya didominasi para biduanita, beberapa penyanyi pria pun pernah sukses menyanyikan karyanya, selain Eddy Silitonga, Rinto sempat pula menghasilkan hits melalui Adi Bing Slamet, Rano Karno, Mawi Purba, dan tak ketinggalan Chrisye serta Broery Marantika.
Dari sekian banyak karya Rinto, beberapa lagu yang sangat sukses adalah “Dingin” (Hetty Koes Endang-1978), “Benci Tapi Rindu” (Diana Nasution-1978), “Kau Tercipta Untukku” (Betharia Sonata-1981), “Kau Untuk Siapa” (Betharia Sonata-1982), “Jangan Sakiti Hatinya” (Iis Sugianto-1980), “Bunga Sedap Malam” (Iis Sugianto-1981), “Bila Kau Seorang Diri” (Nur’afni Octavia-1980), “Sudah Kubilang” (Christine Panjaitan-1980), “Tangan Tak Sampai” (Christine Panjaitan-1983), “Untuk Apa” (Emilia Contessa-1980), “Kau yang Kusayang” (Mawi Purba-1981), “Gelas-gelas Kaca” (Nia Daniaty-1986), “Katakan Sejujurnya” (Christine Panjaitan-1987), “Aku Jatuh Cinta” (Broery Pesolima-1987), dan “Aku Begini Kau Begitu” (Broery Pesolima-1988).
Lagu “Jangan Sakiti Hatinya” merupakan tonggak awal perubahan kiblat musik Iis Sugianto sekaligus menandai awal kesuksesan Iis yang sebelumnya ada di jalur pop kreatif namun kurang bersinar. Sementara itu, lagu “Aku Jatuh Cinta” menjadi awal kembalinya karir Broery Pesolima yang sempat redup di penghujung 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Sejak saat itu produktivitas Broery menjadi terjaga dengan meluncurkan album secara berkala sampai akhir hayatnya.
Lirik lagu yang meratap-ratap, alunan dan aransemen musik yang mendayu-dayu menjadi daya pikat luar biasa bagi penggemar musik Indonesia di era tersebut, hingga kalangan yang antipati terhadap jenis musik ini menamakannya pop ‘cengeng’, dan Rinto pun dinobatkan sebagai “Legenda Pop Cengeng”. Padahal jika kita simak beberapa lagunya, tak melulu berlirik cinta yang meratap-ratap dan perasaan sakit hati. Lagu “Ayah” menceritakan kerinduan seorang anak terhadap sosok sang ayah yang telah tiada, sementara lagu “Gelas-gelas Kaca” bertemakan sosial, yakni tentang kehidupan di panti asuhan, bahkan lagu “Sudah Kubilang” dan beberapa lagu Christine Panjaitan lainnya berisikan nasihat bijak terhadap seorang sahabat yang dirundung kesedihan.
Rinto memang menjadi pembuka jalan bagi komposer lain untuk eksis di jalur beraliran yang sama. Rinto merupakan generasi awal pencipta lagu melankolis, yang kemudian dilanjutkan Pance Pondaag, Obbie Messakh, Deddy Dores, dan beberapa lainnya. Meski begitu, lirik yang ditulis Rinto mempunyai gaya yang berbeda dari yang lain, ia acapkali menyisipkan lirik pantun bernafas Melayu ke dalam lagunya. Masih ingat ungkapan ‘Buah semangka berdaun sirih’ yang sempat populer di akhir ’80-an. Ya, ungkapan ini merupakan penggalan lirik dari lagu “Aku Begini Kau Begitu” milik Broery Marantika.
Rinto juga sukses melambungkan nama Maya Rumantir, Nia Daniati, Iis Sugianto, Betharia Sonata, Christine Panjaitan, serta Nur’afni Octavia. Lagu Rinto tak hanya didominasi para biduanita, beberapa penyanyi pria pun pernah sukses menyanyikan karyanya, selain Eddy Silitonga, Rinto sempat pula menghasilkan hits melalui Adi Bing Slamet, Rano Karno, Mawi Purba, dan tak ketinggalan Chrisye serta Broery Marantika.
Dari sekian banyak karya Rinto, beberapa lagu yang sangat sukses adalah “Dingin” (Hetty Koes Endang-1978), “Benci Tapi Rindu” (Diana Nasution-1978), “Kau Tercipta Untukku” (Betharia Sonata-1981), “Kau Untuk Siapa” (Betharia Sonata-1982), “Jangan Sakiti Hatinya” (Iis Sugianto-1980), “Bunga Sedap Malam” (Iis Sugianto-1981), “Bila Kau Seorang Diri” (Nur’afni Octavia-1980), “Sudah Kubilang” (Christine Panjaitan-1980), “Tangan Tak Sampai” (Christine Panjaitan-1983), “Untuk Apa” (Emilia Contessa-1980), “Kau yang Kusayang” (Mawi Purba-1981), “Gelas-gelas Kaca” (Nia Daniaty-1986), “Katakan Sejujurnya” (Christine Panjaitan-1987), “Aku Jatuh Cinta” (Broery Pesolima-1987), dan “Aku Begini Kau Begitu” (Broery Pesolima-1988).
Lagu “Jangan Sakiti Hatinya” merupakan tonggak awal perubahan kiblat musik Iis Sugianto sekaligus menandai awal kesuksesan Iis yang sebelumnya ada di jalur pop kreatif namun kurang bersinar. Sementara itu, lagu “Aku Jatuh Cinta” menjadi awal kembalinya karir Broery Pesolima yang sempat redup di penghujung 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Sejak saat itu produktivitas Broery menjadi terjaga dengan meluncurkan album secara berkala sampai akhir hayatnya.
Lirik lagu yang meratap-ratap, alunan dan aransemen musik yang mendayu-dayu menjadi daya pikat luar biasa bagi penggemar musik Indonesia di era tersebut, hingga kalangan yang antipati terhadap jenis musik ini menamakannya pop ‘cengeng’, dan Rinto pun dinobatkan sebagai “Legenda Pop Cengeng”. Padahal jika kita simak beberapa lagunya, tak melulu berlirik cinta yang meratap-ratap dan perasaan sakit hati. Lagu “Ayah” menceritakan kerinduan seorang anak terhadap sosok sang ayah yang telah tiada, sementara lagu “Gelas-gelas Kaca” bertemakan sosial, yakni tentang kehidupan di panti asuhan, bahkan lagu “Sudah Kubilang” dan beberapa lagu Christine Panjaitan lainnya berisikan nasihat bijak terhadap seorang sahabat yang dirundung kesedihan.
Rinto memang menjadi pembuka jalan bagi komposer lain untuk eksis di jalur beraliran yang sama. Rinto merupakan generasi awal pencipta lagu melankolis, yang kemudian dilanjutkan Pance Pondaag, Obbie Messakh, Deddy Dores, dan beberapa lainnya. Meski begitu, lirik yang ditulis Rinto mempunyai gaya yang berbeda dari yang lain, ia acapkali menyisipkan lirik pantun bernafas Melayu ke dalam lagunya. Masih ingat ungkapan ‘Buah semangka berdaun sirih’ yang sempat populer di akhir ’80-an. Ya, ungkapan ini merupakan penggalan lirik dari lagu “Aku Begini Kau Begitu” milik Broery Marantika.
4. PANCE F PONDAAG
Seangkatan
Obbie Messakh di jalur pop melankolis. Selain komposer handal, ia dikenal juga
pandai mencetak bintang. Contohnya saja Meriam Bellina dan Dian Piesesha, Pance-lah
yang mengorbitkannya. Hits fenomenal yang ia hasilkan yaitu “Tak Ingin
Sendiri” (1984) milik Dian Piesesha. Lagu ini pula yang membuat nama Dian
menjadi begitu populer di tanah air waktu itu. Album Dian ini menjadi salah
satu album terlaris sepanjang masa di Indonesia. Selanjutnya Dian menjadi
'langganan' melantunkan karya Pance, seperti “Engkau Segalanya Bagiku” (1986)
dan “Mengapa Tak Pernah Jujur” (1987). Sedangkan Meriam Bellina terkenal lewat
lagu “Untuk Sebuah Nama” (1984), “Kerinduan” (1985) dan “Mulanya Biasa Saja”
(1987). Demikian halnya dengan Maya Rumantir, awal kiprahnya di dunia musik tak
lepas dari tangan Pance. Maya sempat hits dalam lagu “Rindunya Hatiku”
(1981) dan “Hatiku Masih Rindu” (1982). Karya Pance juga sempat mempopulerkan
enam gadis orbitan JK Records (Prilly Priscillia, Gladys Suwandhi, Annie Ibon,
Mega Sylvia, Nindy Ellesse, dan Hana Pertiwi - 6 Artis JK-red) lewat lagu
“’Kekasih” (1990). Tiga dari enam artis itu (Gladys, Mega, Nindy-red)
belakangan membentuk trio Glamendy. Selain itu tembang “Kucari Jalan Terbaik”
yang dinyanyikan Pance sendiri.
5. OBBIE MESSAKH
Merupakan salah satu penulis
lagu laris (hitsmaker) bersama Pance
Pondaag, Maxi Mamiri, Wahyu OS, Deddy Dores, dan Judhi Kristianto sendiri, tapi
harus diakui, Obbie yang waktu itu masih remaja merupakan hitsmaker paling dicari industri rekaman. Obbie seolah
melanjutkan kesuksesan Rinto Harahap dalam jalur pop yang sama di era ‘70-an
hingga pertengahan ‘80-an. Sukses fenomenal Obbie saat ia melahirkan lagu “Hati
Yang Luka” (Betharia Sonata-1987), “Kisah Kasih di Sekolah” (1986), yang
dinyanyikannya sendiri dan terdapat dalam album “Kau dan Aku Satu” serta
“Antara Benci dan Rindu” (Ratih Purwasih-1986), yang dikenal dengan kalimat
“Yang...hujan turun lagi...” penggalan awal lirik lagu itu. Ketiga tembang tersebut
menjadi legenda sampai sekarang. Dan tentunya yang paling legendaris adalah
“Hati Yang Luka”.
6. DEDDY DORES
Awalnya
Deddy merupakan komposer andalan Judhi Kristianto, bos JK Record. Beberapa
artis JK sempat melantunkan karyanya, seperti Ria Angelina dan Twin Sister,
corak lagunya agak berbeda dengan karya Pance F. Pondaag dan Obbie Messakh,
mungkin itu juga yang membuat Deddy sedikit kalah bersaing dengan keduanya.
Awal ’90-an ia mencoba putar haluan, ia ingin lebih banyak menciptakan lagu
dengan sentuhan musik rock yang memang background
dia dalam bermusik, seiring dengan surutnya aliran pop melankolis. Di jenis
musik yang kemudian disebut slow rock ini, Deddy bersama pencari bakat asal
Bandung alm. Denny Sabri menemukan bakat
bintang dari seorang gadis muda asal Bandung pula yaitu Nike Ardilla. Deddy
percaya bahwa karya-karyanya akan berhasil jika Nike yang membawakannya.
Hasilnya, album “Seberkas Sinar” (1990) yang ia tangani cukup sukses di
pasaran. Yang lebih mencengangkan album kedua Nike yang mengandalkan lagu
“Bintang Kehidupan” (1990), meraup sukses fantastis. Nike menjadi idola di
mana-mana dan karya-karya Deddy pun menjadi ‘buruan’ para penyanyi muda
sekaligus menandai berakhirnya musim pop kreatif dan pop melankolis yang
sebelumnya merajai dekade ‘80-an. Jenis musik ini turut pula menggusur musik
dangdut yang semula ‘aman’ di jalurnya sendiri. Pesona Nike terus tak
terbendung, setiap album yang ia luncurkan selalu laris dan lagu-lagunya
menjadi hits. Deddy berhasil mencetak
mega bintang baru di slow rock. Deddy kemudian banyak mengangkat nama penyanyi
baru yang cantik, seperti Mayang Sari, Conny Dio, Annie Carera, Yessy Gasela,
dan Lady Avisha. Conny Dio sempat hits
di lagu “Setitik Air” (1990) dan Annie Carera dalam “Cintaku Tak Terbatas
Waktu” (1996). Di album terakhir Nike (sebelum meninggal dunia) yang
mengeluarkan single karya Deddy
bertajuk “Sandiwara Cinta” (1995) berhasil menyamai kesuksesan album “Bintang
Kehidupan” yang terjual sekitar dua juta copy.
Deddy Dores berkiprah di dunia musik sejak 1970-an, ia sempat tergabung dalam
band Superkids dan membentuk band Rhapsodia. Selain itu, ia pernah membuat
album solo yang menghasilkan hits
yang cukup terkenal “Hilangnya Seorang Gadis” (1971). Tak banyak orang tahu,
kalau ia juga sempat masuk grup rock legendaris God Bless pada 1974.
7. DADANG S. MANAF
Dia terhitung sangat
produktif di era ’80-an sampai ’90-an. Beberapa karyanya yang terkenal “Ketika
Senyummu Hadir” (1990) yang dilantunkan oleh Tika Bisono, yang kini dikenal
sebagai psikolog kondang, “Nostalgia SMA” (1988) yang disuarakan dengan manis
oleh Paramitha Rusady, “Januari yang Biru” (1986) tembang syahdu Andi Meriem
Mattalata, juga “Betapa Aku Sayang Padamu” (1994) milik Poppy Mercury.
8. WAHYU OS
Dikenal luas setelah lagu ciptaanya berjudul “Senandung Do’a” menjadi hits besar lewat lantunan Nur’afni
Octavia.di tahun 1984. Kesuksesan itu disusul dengan menelurkan karya-karya
yang serupa tapi tak sama. Diantaranya lewat nyanyian mendayu Cynthia Maramis
dalam “Satukan Dia dan Aku” (1986). Ia pun terbilang mencatat sukses sebagai
penyanyi lewat lagu “Ingin Memiliki” (1985) berduet dengan Dian Piesesha, dan
juga rilis ulang lagu “Senandung Do’a” (1985) dengan aransemen musik yang
tergarap lebih baik.
9. MUCHTAR B
Komposer dangdut yang sangat fenomenal di
dekade ‘80-an sampai ‘90-an. Karya-karyanya secara umum selalu mampu mengangkat
popularitas sang penyanyi. Lirik lagu cinta dan penderitaan acapkali
diungkapkan dengan gaya setengah jenaka bahkan jenaka sepenuhnya, sehingga
tidak terkesan 'cengeng', inilah salah satu ciri khasnya. Tengoklah lagu yang
sangat fenomenal milik Itje Tresnawaty, “Duh Engkang” (1989), liriknya dipenuhi
bahasa campuran antara Indonesia dan Sunda sehingga terdengar kocak tanpa
kehilangan maknanya, meski sesungguhnya lagu ini bertemakan penderitaan istri
yang diduakan oleh suaminya. Sampai-sampai banyak sekali pencipta lagu dangdut
saat itu yang meniru gayanya dengan mencampur bahasa daerah dan Indonesia ke
dalam lirik hingga menjadi trend. Di awal karirnya, Itje juga pernah
mencetak hasil gemilang lewat karya Muchtar B berjudul "Dibelai"
(1983). Selanjutnya Itje kerap berkolaborasi dengannya dan selalu meraih hits,
diantaranya lewat "Madu Merah" (1990) dan "Lenggang
Kangkung" (1992). Selain itu, ia juga sukses mengangkat pamor
penyanyi-penyanyi baru, seperti Evie Tamala, Ine Synthia, dan Lilis Karlina.
Lagu sukses lain yang terlahir melalui tangannya, diantaranya “Dokter Cinta”
(Evie Tamala-1989), “Goyang Karawang” (Lilis Karlina-1991), “Kacamata Hitam”
(Ayu Soraya-1988), “Cinta Bukan Sayur Asem” (Ine Synthia-1992), dan tentunya
masih banyak lagi. Lagu “Suling Bambu” (1982) milik Herlina Effendi pun begitu
terkenal sampai sekarang melebihi popularitas penyanyinya sendiri.
Namanya sering muncul sebagai komposer dalam Festival Lagu Populer
yang dulu rutin diselenggarakan dari rentang pertengahan dasawarsa ‘70-an
hingga ’80-an. Lewat tembang “Renjana” (1976) yang dinyanyikan oleh Grace
Simon, ia meraih juara komposisi lagu terbaik. Tidak berhenti sampai disitu,
lewat lagu “Kembalikan Baliku” yang disuarakan dengan pas oleh Yopie Latul, ia mewakili Indonesia pada World
Populer Song Festival 1987 di Tokyo dan meraih Kawakami Award dan Audience
Selections Award, setelah
di Festival Lagu Populer 1986 berhasil menyandang kembali
predikat komposisi lagu terbaik. Selain itu ia pernah membuat hits semi dangdut yang dipersembahkan untuk
Cici Paramida bertajuk “Candu Asmara”.. Hits lainnya yang mendapat tempat di hati
penggemar musik ialah “’Mahadaya Cinta” milik Krisdayanti dan “Jalan Sore-sore”
(Denny Malik-1989). Ia pun mencetak sukses lewat lagu-lagu soundtrack film “Gita Cinta dari SMA” dan sequel-nya “Puspa Indah Taman
Hati” melalui suara merdu Chrisye.
11. IAN ANTONO
Komposer yang produktif dan hitsmaker yang mewakili aliran
musik rock. Selain menciptakan lagu untuk band-nya God Bless,
karya-karyanya kerap pula dipopulerkan oleh penyanyi-penyanyi solo. Banyak lagu
hits lahir dari tangannya, yang paling sukses adalah “Panggung
Sandiwara” yang beberapa kali dirilis ulang, demikian pula halnya
“Uang...Lagi-lagi Uang” (Pretty Sister-1983) yang kemudian direkam ulang dengan
judul “Uang” oleh Nicky Astria sepuluh tahun kemudian. Lagu lainnya yang cukup mendapat sambutan adalah
“Tertipu Lagi”, “Rumah Kita”, “Neraka Jahanam” ketiganya milik God Bless; dan
“Suka” (Nicky Astria-1995). Satu lagu yang ia persembahkan untuk sahabatnya
Ahmad Albar secara solo sempat mengejutkan khalayak karena bernuansa Timur
Tengah, berjudul “Zakia”.
12. JAMES F. SUNDAH
Mulai
berkibar di jagad musik tanah air sejak 1977, kala itu lagu “Lilin-lilin Kecil”
ciptaannya yang dibawakan Chrisye menjadi pemenang Lomba Cipta Lagu Remaja
(LCLR) Prambors. Di era ‘80-an, ia semakin menanjak dengan lagu-lagu larisnya,
diantaranya “Astaga” (1986) dan “Amburadul” (1987) keduanya dibawakan oleh Ruth
Sahanaya. Sementara itu lagu “September Ceria” (1983), yang juga fenomenal,
serta “Cintamu” (1989) berhasil melejitkan nama Vina Panduwinata dan Yana
Julio.
13. ADJIE SOETAMA
Dialah
yang sangat berjasa dalam mengangkat karir alm. Chrisye. Lewat lagu “Aku Cinta
Dia” (1985), popularitas Chrisye menanjak tajam. Sejak saat itu ia kerap
berkolaborasi bersama Chrisye dalam setiap kesempatan termasuk dalam menggubah
lagu. Hasilnya Vina Panduwinata berhasil meraup sukses lewat lagu “Cinta”
(1986), sementara itu, lagu “Hip hip Hura” (1987) kembali mengulang sukses Chrisye
sebelumnya. Lagu lainnya yang lumayan menuai sukses diantaranya “Ada Kamu”
(Irianti Erningpraja-1987) dan “Tinggal Bilang” (Trie Utami-1990).
14. INDRA LESMANA
Musisi jazz yang juga cukup
sukses di industri musik komersial. Kolaborasi duetnya dengan Titi DJ sempat
menuai keberhasilan terutama lewat lagu “Ekspresi” (1988) dan “Dunia Boleh
Tertawa” (1989), demikian pula halnya saat berduet dengan Sophia Latjuba,
khususnya pada tembang “Hanya Untukmu” (1992) dan “Tiada Kata” (1994). Bersama kelompok
Krakatau, karya ciptaannya juga berhasil menggapai hits pada lagu “Kau Datang” (1988) dan
“Lasamba Primadona” (1987). Di awal 1990, hits yang berhasil dicetak yaitu “Aku
Ingin” (1990) yang ia bawakan sendiri, serta "Aku Rindu" (1994) yang
disuarakan Ismi Azis.
15. CECEP AS
Karya-karyanya menjadi
jaminan laris dan mengangkat banyak nama antara lain Atiek CB, Rafika Duri,
Ramona Purba, Jayanthi Mandasari, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu ciptaannya
begitu khas, melankolis tapi iramanya tidak cengeng, dan uniknya sebagian besar
judul lagunya cuma menggunakan satu kata. Umumnya lagu Cecep disukai oleh
remaja perempuan di masanya. Lagu “Tirai” (1983) contohnya, lagu yang
dilantunkan Rafika Duri dengan lembut ini sungguh menarik perhatian para ABG
kala itu. Kepopuleran lagu ini membuat Cecep membuat sequel “Tirai 2” (1983) yang dinyanyikan Jatu Parmawati, meski
tidak seheboh “Tirai”, “Tirai 2” pun cukup mendapat sambutan. Atiek CB
terangkat namanya lewat “Risau” (1984). Selanjutnya, Atiek kembali hits lewat “Akh!” (1985). Penyanyi tuna
netra Ramona Purba juga mengawali debut karirnya dengan membawakan karya Cecep
AS, “Terlena” (1983). Hits lain dari
Cecep AS antara lain “Pasrah” (Andi Meriem Matalatta-1984), “Ingkar” (Jayanthi
Mandasari-1984), “Kekang” (Atiek CB-1985), “Dara” (Harvey Malaihollo-1987),
“Pilar” (Rafika Duri-1984), “Maafkan” (Atiek CB-1989), “Izinkanlah” (Nike
Ardilla-1991, diciptakan bersama Yonky Soewarno-red), dan sederet lainnya.
16. DIAN PRAMANA PUTRA & DEDDY DHUKUN
Dian Pramana Poetra mulai eksis pada 1980 di ajang festival Lomba Cipta Lagu Remaja 1980. Dian sempat meraih juara tiga lewat lagu "Pengabdian". Di kemudian hari ia lebih sering berkolaborasi dengan musisi Deddy Dhukun, baik ketika menyanyi ataupun dalam mencipta lagu, hingga membentuk duo 2D yang menghasilkan hits “Keraguan” (1987) dan “Masih Ada” (1989). Grup lain yang merupakan ‘turunan’ 2D yaitu Kelompok 3 Suara (K3S) dengan menambah satu penyanyi lagi, Bagoes A. Ariyanto, dan menghasilkan dua lagu yang meledak dipasaran di tahun 1987 berjudul “Oh Ya??” dan “Bohong”. Sejumlah penyanyi besar di masa itu sempat menyanyikan karya Dian dalam album rekaman. Mulai dari Fariz RM, Utha Likumahuwa, Ruth Sahanaya, Hetty Koes Endang, hingga Chrisye dan Broery Marantika. Beberapa hits sukses karya Dian dan Deddy Dhukun yang dibawakan penyanyi lain diantaranya “Aku Ini Punya Siapa” (January Christie-1987), “Biru” (Vina Panduwinata-1987), “Kuingin Kau Ada” (Trie Utami-1989), “Jalan Masih Panjang” (7 Bintang-1989) dan “Masa Kecilku” (Elfa’s Singer-1988). 2D juga pernah memiliki andil dalam mengorbitkan penyanyi muda, sebut saja Ismi Azis dan Malyda. Lagu “Semua Jadi Satu” (1987), karya 2D, berhasil mempopulerkan nama Malyda di blantika musik Indonesia, sementara Ismi Azis namanya tiba-tiba melesat setelah merilis lagu "Untukmu Sayang" (1988). Hits solo Dian yang sempat sukses yaitu “Kau Seputih Melati” (1986) dan “Melati di Atas Bukit” (1985). Sementara setelah 'berpisah' dengan Dian, Deddy bersama Malyda pernah berkolaborasi bersama Fariz RM menghasilkan hits “Tak Pernah Berubah” (1990) dan juga duet dengan Trie Utami dalam lagu ringan “Entah Apanya” (1990). Deddy juga pernah mencoba mengorbitkan penyanyi baru, Mira Indrasari di tahun 1993 dengan tembang “Ada Apa?”
17. ODDIE AGAM
Menjelang
akhir 1980-an. Lagu-lagu yang diciptakannya banyak yang menjadi hits, antara lain “Surat Cinta"
(1987), "Logika" (1987), dan “Wow” (1989) semuanya dipopulerkan oleh Vina Panduwinata . Hits lain yang
meledak di pasaran diantaranya “Aku Cinta Padamu” (Itang Yunasz-1989), “Koq
Jadi Gini” (Hetty Koes Endang-1987), “Tanda-tanda” (Mus Mujiono-1988), “Arti
Kehidupan” (Mus Mujiono-1988), “Puncak Asmara” (Utha Likumahuwa-1988), “Anak
Sekolah” (Chrisye-1986), serta tembang fenomenal "Antara Anyer dan
Jakarta” (1987) yang mengangkat popularitas penyanyi Malaysia Sheila
Majid di Indonesia, meski sebenarnya lagu ini pernah direkam oleh suara Atiek
CB di tahun 1986. Ciptaan Oddie memang khas,
melodinya unik dan liriknya lugas, meski kadang terlalu ‘to the point’ . Nama Oddie menjulang sebagai hitsmaker papan atas pada masanya. Karya-karya Oddie menjadi
jaminan laris, berkualitas baik dan menjadi warna baru yang menyegarkan setelah
mulai melemahnya gempuran lagu-lagu melankolis ala JK Record karena kejenuhan
publik. Pernah suatu kali dalam tahun yang sama, lagu-lagu Oddie menguasai
tangga lagu di banyak radio, karena begitu banyak karyanya yang bersamaan
munculnya dan sama-sama menjadi hits
dan menyebar ke banyak penyanyi. Selain lagu untuk penyanyi solo, Oddie
juga kerap menciptakan lagu-lagu duet yang romantis, seperti
"Kesempatan" (duetnya bersama Dewi Yull-1988), “Bahasa Cinta” (Broery
Marantika & Vina Panduwinata-1987), “Tamu Istimewa” (duetnya bersama Vina
Panduwinata-1990), “Bebaskan Asmara” (duetnya bersama Malyda-1990), dan
“Begitulah Cinta” (Tembang Finalis Festival Lagu Populer 1988 yang dibawakan
apik oleh Harvey Malaihollo dan Vina Panduwinata, kemudian Harvey merilis ulang
di tahun 2000, namun kali ini ia berduet dengan Sheila Majid). Sebelum populer
sebagai komposer handal, Oddie pernah menyimpan kekaguman terhadap Meriam
Bellina, bintang film pendatang baru saat itu yang langsung meraih piala Citra
FFI, hingga melahirkan tembang “Bellina” (1984) yang dinyanyikannya sendiri.
Musisi inilah yang
berperan besar dalam debut karir dua diva Indonesia, Krisdayanti (KD) dan
Rossa. Bersama Christ Pattikawa, ia membawa KD ke pentas Asia Bagus hingga
akhirnya menjuarai Grand Final tahun 1992. Sementara itu, album “Nada-nada
Cinta” (1998) yang ia garap menandai awal eksistensi Rossa di blantika musik
Indonesia. Ia pun sukses membawa trio AB Three, yang juga jebolan Asia Bagus,
menuju kesuksesan lewat karya-karyanya. Dalam album perdana trio Widi, Nola,dan
Lusy yang bertajuk “Cintailah Aku” (1995). Beberapa hits lain dari
Younky diantaranya “Jerat-jerat Cinta” (Trio Libels-1992), “Tanpa Dirimu”
(Paramitha Rusady-1991), “Cintaku Padamu” (1992) dan “Sanggupkah Aku” (1990),
keduanya milik Ita Purnamasari, “Biar Kusimpan Rinduku” (Novia
Kolopaking-1994), “Izinkanlah” (Nike Ardilla-1991, diciptakan bersama Cecep
AS-red), Bias Sinar (Nicky Astria-1990), “Harus Kumiliki” (Ruth Sahanaya-1994),
“Cemburu” (Atiek CB-1990), “Sudahlah Aku Pergi” (Ahmad Albar-1992), dan masih
banyak lagi. Yang menarik, sang istri Maryati, terlibat dalam banyak lagu
sebagai penulis lirik.
19. TITO SOEMARSONO
Masa keemasan karirnya di era
’80-an sampai pertengahan ’90-an. Sebagai musisi dan komposer, namanya nyaris
selalu menghiasi album-album penyanyi yang dirilis di masa itu. Lagu-lagu
ciptaannya mampu mengangkat banyak popularitas penyanyi, Ruth Sahanaya, salah
satunya. Bahkan lagu “Kaulah Segalanya” ciptaan Tito, membawa Ruth menjadi
juara pada Midnight Sun Song Festival di Finlandia di tahun 1992, dengan lirik
yang diubah ke dalam bahasa Inggris oleh Tengku Melinda, presenter berita TVRI,
judulnya pun menjadi "You'll Always be Mine". Tito
juga sanggup mencetak album-album laris yang dinyanyikannya sendiri. “Kamu”
(1985), “Untukmu” (1990), “Tuhan Tolonglah” (1991), “Semoga Kau Tahu” (1992)
merupakan album-album Tito yang cukup sukses di pasaran.
20. DORIE KALMAS
Salah satu komposer dari
banyak lagu hits sepanjang pertengahan ’80-an sampai akhir ’90-an.
Karyanya antara lain dinyanyikan oleh Fariz RM, Yana Julio, Andi Meriem
Mattalata, Titi DJ dan masih banyak lagi. Beberapa hits-nya yan cukup
sukses di pasaran adalah “Iman dan Godaan” (Fariz RM & Dian PP-1989),
“Bahasa Kalbu” (Titi DJ-1999), “Hasrat Cinta” (Yana Julio-1994) dan “Selamanya
Cinta” (Yana Julio-1995), “Segala Rasa Cinta” (Fryda-1998), “Bila” (Irma
June-1991), “Susi Bhelel” (Fariz RM-1989), “Kembalilah” (Ronnie Sianturi-2000),
“Hanya Ingin Dirimu” (Asti Asmodiwati-1992), dan lain-lain. Karyanya yang
fenomenal adalah “Nada Kasih” (Fariz RM & Neno Warisman-1987).
Bersama saudaranya Richard
Kyoto dikenal sebagai komposer yang cukup handal di era ‘80an. Karya-karyanya
banyak yang menjadi hits besar. Banyak lagu yang ia ciptakan
bernuansa bossanova yang kala itu booming. Hits yang cukup sukses adalah “Pasrah”
(Ermy Kullit-1988), “Kembali” (Novia Kolopaking-1992), dan “Untuk Apa” (Ina
Rawie-1993).
No comments:
Post a Comment